10.6.10

Tekken

Survival is no game.

Dulu, saya adalah penggemar berat game ini. Entah itu Tekken, Tekken 2, Tekken 3 dan Tekken 4 (di zaman saya kecil baru segitu serinya, sekarang sudah sampai 6), semua saya mainkan berulang-ulang. Saya hapal karakter-karakternya, kekuatannya masing-masing, jurus masing-masing, sampai cerita latar belakang masing-masing tokoh yang suka ditampilkan di film mini (maaf saya tidak tahu istilahnya) dalam video game tersebut. Saya suka ceritanya, dan selalu membayangkan betapa kerennya bila ini difilmkan seperti game Street Fighter.

Maka, ketika ada film Tekken keluar, saya langsung kegirangan. Tidak peduli ketika teman saya bilang itu kurang menarik, tidak peduli untuk melihat siapa rumah produksi antah-berantah yang memproduksi film ini. Lagipula rating film ini di IMDB 7,5 dimana Prince of Persia yang juga saya kagumi hanya mendapatkan rating 6,9.

Singkat kata, tersebutlah di sebuah bioskop super landai yang ada di Bandung, meski kurang rela menyaksikannya disana, saya menonton Tekken. Menit pertama yang dibuka dengan adegan pertandingan lalu disusul dengan adegan kejar-kejaran, menarik. Adegan selanjutnya, lumayan. Lalu menit-menit pun berjalan, sialnya dengan kecepatan yang melambat. Hingga akhirnya saya menyadari 3 hal. Pertama, jangan terlalu percaya dengan rating imdb, lihatlah dulu dengan cermat berapa votersnya. Kedua, saya berterimakasih dengen cast director yang sudah memilih Jon Foo yang luar biasa ganteng itu karena memang sangat diperlukan, cuma dialah komoditas yang paling menjual di film yang dipenuhi adegan tidak penting soal pantat cewek dan seks sebagai lambang kekuasaan ini. Yang terakhir, jangan banyak berharap. Cerita bagus pun bisa diubah dan dikebiri sana-sini oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Tadinya saya berpikir, bila ceritanya akhirnya jadi jelek, setidaknya saya bisa melihat adegan perkelahian yang seru. Tapi ternyata, saya harus kecewa. Tidak ada yang spesial dalam adegan pertarungannya, dimana saya berharap banyak disini. Jurus andalan para petarung yang ada tidak keluar sama sekali ! Cuma ada bak-buk-bak-buk, terus jatuh. Pukul sana pukul sini, terus pingsan. Sabet sana sabet sini, terus mati. Aaaargh. Saya ingin melihat Jin Kazama yang punya devil gene itu sedang melakukan jurus andalannya. Saya ingin melihat dia bertanding dengan Heihachi Mishima yang memiliki kekuatan yang sama tapi dengan kemampuan yang lebih besar. Tapi yang saya dapat adalah Heihachi Mishima yang lemah dan pasrah dan tidak diberi kesempatan bertempur sama sekali, serta Jin Kazama yang sama sekali tidak cool serta kerjaannya menggoda wanita, ia baru tampak lumayan ketika emosi. Untuk beberapa petarung memang sempat ada gaya bertarung yang masih bertahan, seperti Eddy dengan gaya Capoieranya. Tapi sayang tidak berlaku untuk Christie Monteiro. Hmm, apa saya bisa memberi contoh lain ? Ternyata tidak.

Ide ceritanya entah dapat dari skenario yang mana. Ceritanya hanya berkutat tentang masalah keluarga yang dibawa-bawa ke sebuah turnamen-yang-konon-katanya-bergengsi-tetapi-pesertanya-minim-bersponsor-dan-kekuatan-petarungnya-biasa-saja. Tidak ada bahasan lebih lanjut tentang Turnamen Iron Fist-nya sendiri yang seharusnya menjadi sentral film ini. Latar belakang para petarung yang seharusnya menjadi bumbu cerita yang menarik dibuang jauh-jauh, bahkan para petarung menarik juga turut serta dibuang. Bahkan Anna dan Nina Williams yang seharusnya memiliki bumbu cerita menarik sebagai pembunuh berdarah dingin hanya difungsikan sebagai pajangan berbadan seksi yang kebetulan bisa berkelahi. Belum lagi banyak sekali adegan vulgar yang sangat tidak penting entah dimasukkan untuk apa (tambahan cerita bukan, pemanis cerita ? boro-boro!). Sungguh saya gemas mengira-ngira apakah Dwight H. Little (sang sutradara) serta penulis skenarionya sempat berpikir dulu atau tidak sebelum menggarap cerita ini. Tanpa mengurangi segala hormat, saya pikir mungkin film ini berbudget rendah sehingga setting dan adegan fantastis jadi tak terjamah, tetapi logika saya bilang dibanding buang duit untuk membangun set Anvil dan tempat Iron Fist Turnamen yang hasilnya pun setengah-setengah, lebih baik dieksplor lagi lebih cerita yang bisa menambah kemenarikan film serta mengalokasikan dana untuk menyewa koreografer kelahi yang lebih oke.

Setelah mengetahui cerita yang bobrok dan perkelahian yang tidak seru plus pemilihan tempat menonton yang paling tidak nyaman di seantero Bandung, apa yang bisa membuat saya tetap bertahan dan tidak langsung keluar dari tempat tersebut ? Jon Foo tentu. Sang pemeran Jin Kazama yang super tampan. Beruntung tampannya bisa dikasih super, dan setidaknya dia bisa berakting sedikit. Soalnya kalau tidak, saya tambahkan ketidakberuntungan saya dengan melihat film yang hampir semua pemainnya dibayar untuk berantem dan mejeng, bukan berakting. Kecuali mungkin sang pemeran kakek lemah Heihachi Mishima, Cary-Hiroyuki Tagawa. Meski karakter yang ia perankan tidak seperti karakter yang saya bayangkan, tetapi setidaknya aktingnya untuk menjadi kakek-kakek dengan harga diri tinggi sampai rela ditembak mati demi membela prinsipnya lumayan juga. Ian Anthony Dale, pemeran Kazuya Mishima, sang antagonis disini pun lumayan, bisa mengundang timpukan orang, meski mungkin terkadang membingungkan timpukannya untuk aktingnya yang berhasil atau sekedar tak tahan melihat wajahnya yang annoying.

Bila anda penggemar berat Tekken, saya kurang menyarankan anda untuk menonton film ini kalau tidak ingin mencak-mencak sendiri, kecuali kalau anda memang sudah kepalang penasaran seperti saya sebelumnya. Bila anda bukan penggemar atau bahkan mungkin tidak pernah mendengar kata Tekken, silahkan mencoba kalau memang anda tidak berkeberatan dengan film yang memiliki adegan tidak spektakuler dan cerita yang tidak luar biasa.

Rate by Me : 4,5 out of 10