10.7.11

Catatan Harian si Boy

Nama gue Boy, ini catatan gue..


Whoa, sudah terhitung lama sekali saya tidak pernah menulis review lagi. Padahal sudah banyak film sudah saya tonton, tapi entah kenapa rasa ingin untuk menulis saya selalu terhalang dengan hal-hal lainnya. Memang benar, rasanya jadi pekerja benar-benar beda. Susah membagi waktu untuk hal lain yang dulu saya senangi, terutama untuk orang yang moody parah seperti saya.

Anyway, akhirnya, saya tersentil juga untuk menulis review film ini. Jangan tanya kenapa, karena saya juga tidak tahu. Pokoknya tiba-tiba saja tangan saya gatal, dan jadi tergelitik untuk menulis review ini.

Seperti yang tertera jelas di judulnya, “Catatan Harian Si Boy” memang berhubungan dengan film “Catatan si Boy” yang sangat booming di tahun 80-an itu. Dulu ketika saya SD, film “Catatan Si Boy” yang lama masih sering diputar di TV dan saya selalu menontonnya. Tapi bila anda mengira ini adalah sekuel, anda boleh bernafas lega seperti saya karena anda salah. Boy tetap abadi dalam gambaran sosok si ganteng Onky Alexander, bahkan hingga sekarang. Yang berubah hanyalah usia. Ya, film “Catatan Harian si Boy” kali ini mengisahkan tentang seorang wanita muda yang bernama Tasya (Carissa Putri), yang mencari Boy untuk dipertemukan dengan Ibunya yang sedang sakit keras. Satu-satunya yang digenggam oleh Ibunya dalam hari-harinya yang sekarat adalah sebuah diary tua, milik mantan kekasih yang sangat dicintainya, Boy. Kisah pencarian ini mempunyai konflik tersendiri yang mewarnainya, dimulai ketika Tasya berkenalan dengan Satrio (Ario Bayu), seorang pegawai bengkel yang bertemu dengannya saat Ia sedang menemani kekasihnya, Nico (Paul Foster), di kantor polisi.

Kisah film ini sederhana, bahkan cukup umum, tapi dapat diarahkan menjadi hiburan yang ringan dan menarik. Dialognya ringkas dan logis, kadar sinetron sangat kurang disini. Penokohannya bagus. Saya terutama jatuh cinta dengan tokoh sahabat pendamping Satrio, Andi (Abimana Setya), pemuda slenge’an gila wanita yang ngomongnya nggak pernah serius, tapi anehnya selalu bijak. Dan disini saya juga tertarik dengan Albert Halim, pemeran karakter pewaris karakter Emon, Heri. Aktingnya terlihat natural dan pas dimata saya, dialog dan ekspresinya pun tidak berlebihan. Ah kalaupun ada yang berlebihan, kritik mungkin harus saya ajukan kepada penata kostum untuk Nina (Poppy Sovia). Karena bila saya pemuda sehat yang sedang kecapekan mengurus mesin seharian lalu melihat bos cantik saya selalu hilir mudik bengkel sambil obral kulit seperti itu, saya bisa berubah jadi kucing lapar yang melihat tikus, tinggal main terkam saja. Dan saya pikir, semua pemuda sehat di bengkel itu pasti punya pikiran yang sama.

Saya berikan peringatan pertama kepada anda pecinta barang mewah tapi punya penyakit lemah jantung untuk berhati-hati. Karena mungkin anda bisa menangis sambil mencengkram dada bila melihat mobil-mobil mewah dengan entengnya dirusak disini. Ya, mungkin mobil-mobil mewah itu selalu ditanggung oleh asuransi, yang menjadi alasan kuat kenapa anak-anak muda ini tidak begitu pusing kalau ada 1-2 mobil kliennya yang dirusak. Tapi ada yang mengganjal untuk saya dari film ini : saya pikir menjadi mekanik mobil mahal tentu honornya super besar karena bisa memiliki mobil pribadi yang ikut mewah pula, bahkan meng-afford barang-barang bermerek. Luar biasa sekali.

Overall, saya suka film ini. Saya suka sinematografinya. Saya kagum dengan penata suaranya (Bagaimana caranya dia mengambil suara jernih diantara gemuruh baling-baling helikopter? Bukan dubbing kan? Ah saya penasaran!). Saya suka cara Putrama Tuta mengarahkan film ini dengan ringan, segar namun tetap berisi.


Rate by me : 8 out of 10