29.8.10

Furry Vengeance

He came. He saw. They Conquered.

Brandon Fraser dan Brooke Shields. Kedua bintang Hollywood ini terdengar lumayan, terlebih ketika mereka bersama membintangi satu film. Fraser adalah bintang Mummy 1 dan 2, sedangkan Shields adalah bintang Lipstick Jungle. Jadi kalau disuruh menonton film yang ada mereka berduanya, saya tidak mengira kemungkinan terburuk apa yang bisa terjadi. Paling tidak, ya bakal seburuk apa sih film Hollywood?

Saya sudah duduk di dalam bioskop tanpa ekspektasi. Saya sudah melihat trailernya, dan trailernya saja memang sudah tidak menjanjikan. Akhirnya filmnya dimulai.

Sepuluh menit pertama saya langsung hangus. Melihat adegan guyonan super konyol yang terlalu dipaksakan, binatang-binatang sok lucu yang suka bermain lempar batu, belum lagi pop-up balon pikiran yang maksanya luar biasa. Bila ini DVD, sudah saya matikan sekarang juga. Sayangnya ini di bioskop, sedang di traktir teman lagi. Mungkin wajah saya sudah mengenaskan waktu itu, karena teman saya sudah langsung menawarkan untuk keluar saja dari situ. Tapi saya bertahan, selain sudah bayarnya mahal, memang bisa seburuk apa sih film Hollywood yang satu ini ?

Menit-menit berjalan. Adegan slapstick menyakitkan bertambah banyak. Dan saya jadi superkasihan dengan mas Fraser. Dia sedang sebutuh apa ya sama uang sampai mau-maunya disiksa seperti itu? Di kurung dimobil bersama para sigung, di jebak kedalam WC portabel dan diguling-gulingkan oleh seekor beruang, dan lain-lain, dan seterusnya, dan sebagainya. Belum lagi lelucon yang tidak lebih ramai dari bunyi jangkrik. Belum lagi animasi (kalau memang namanya animasi) kasar binatang-binatangnya. Terutama saat adegan tidak penting para binatang berdansa bersama. Saya bertanya-tanya orang-orang di balik layar ini sebetulnya niat atau tidak membuat film ini. Sejujurnya saya jadi tidak mengerti Roger Kumble orangnya seperti apa, dan dia datang dari planet mana. Saya juga jadi tidak mengerti para penulis skenarionya, Michael Carnes dan Josh Gilbert, hendak membungkus cerita ini dengan tipikal komedi seperti apa.

Selera humornya jelas-jelas bukan selera humor orang biasa.

Baik, saya berhenti dulu curhatnya. Mari kita lihat dulu sisi positifnya. Sebetulnya dilihat dari segi cerita, film ini bermoral sekali. Film ini menceritakan perjuangan binatang hutan yang hendak memperjuangkan rumahnya (maksudnya hutan) agar tidak dibabat habis untuk dibangun mall disana. Kebetulan developer yang ditugaskan untuk mengerjakan proyek itu adalah Dan Sanders (Brendan Fraser). Rencana pembabatan hutan ini sebetulnya ditentang pula oleh keluarganya sendiri, sang istri Tammy (Brooke Shields) dan anaknya Tyler (Matt Prokop). Yah, film ini mengajarkan moral yang sangat baik tentang menghargai alam serta penghuninya.

Sayang eksekusinya sampah.

Di akhir curhatan saya, saya ingin mengutip cosensus report dari Rotten Tometoes : “A thin premise stretched far beyond serviceable length, Furry Vengeance subjects Brendan Fraser -- and the audience -- to 92 minutes of abuse".

Rate by me : 2 out of 10

28.8.10

Shutter Island

Someone is missing.”

Leonardo Di Caprio. Nama itu saja sudah sangat mengundang saya untuk menonton sebuah film, tidak peduli siapa sutradaranya. Sudah menjadi rahasia umum bukan, bahwa bang Lendi (singkatan ini bukan dari saya, tapi pacar saya. Ew, i know.) ini sangat piawai dalam memilih peran. Telah dari lama saya ingin menonton film ini, yang disutradarai oleh Martin Scorsese (ya, beliau juga menyutradarai the Departed – 2006). Tapi entah kenapa filmnya masuk ke Bandung terlalu telat, sehingga saya baru menonton sekarang, dimana tentu bajakannya sudah merajalela dimana-mana.

Well, sebetulnya saya tidak tahu harus bersyukur atau tidak karena memilih menonton di Bioskop ketimbang menonton di DVD.

Cerita dimulai dari kedatangan Teddy Daniels (Leonardo Di Caprio), seorang Marshall AS yang ditugaskan untuk mencari seseorang yang hilang di Shutter Island. Shutter Island sendiri adalah pulau terpencil tempat dirawatnya tahanan-tahanan AS yang sakit jiwa dan dianggap berbahaya. Orang yang hilang ini adalah salah satu tahanan (atau lebih suka disebut sebagai ‘pasien’) yang paling berbahaya, Rachel Solando. Misteri hilangnya Solando membawa Teddy beserta rekannya Chuck Aule (Mark Ruffalo) kedalam sebuah teka-teki besar yang belum pernah diungkap sebelumnya.

Sepuluh menit pertama, saya sudah bisa melihat bahwa tidak akan ada kebahagiaan yang dibawakan oleh film ini. Shot-shot ruangan kosong dan gelap, tata ruang yang hampa, wajah-wajah orang yang frustasi. Belum lagi ketika dibawa lebih jauh ke satu jam berikutnya, pemicu frustasi itu bertambah dengan tumpukan mayat beku dan bayangan wanita yang mati tenggelam dimana-mana. Dimana arah kamera memandang, hanya ada wajah tegang dan kegalauan. Scoringnya juara, walau terdengar sangat familiar karena mirip dengan scoring Inception. Gosh, I freaked out almost all the time. Beri saya ketegangan dengan lelaki buruk rupa dengan cakar ditangannya daripada dengan orang gila yang menyebar dimana-mana tetapi siap berteriak sesuka hati dan memanipulasi. Sejujurnya bahkan setelah satu jam, saya mulai menyerah dengan tensi yang terbangun. Terlalu melelahkan. Bayangkan 137 menit penuh ketegangan itu. Akhirnya saya mulai memejamkan mata saya sekali-sekali sambil berharap agar filmnya cepat selesai.

Tensi mulai dibangun oleh Scorsese dari menit-menit awal, tanpa henti, hingga sekitar setengah jam sebelum film ditutup. Alur cerita dan pembangunan plot cukup baik dan cukup menipu untuk saya. Meski sayang sekali saya harus kecewa dengan endingnya. Pembentukan teka-teki yang ada, jatuh-bangun alur cerita, membuat saya menonton dengan seksama. Tapi sayang, tipe endingnya membuat saya langsung melupakan semua itu. Yah katakan saja, ini hanya masalah selera. Mungkin tipe ending Shutter Island bukan tipe kesukaan saya, tapi untuk saya itu cukup fatal karena langsung menghapus pemikiran-pemikiran saya 2 jam ke belakang.

Tetapi over all, film ini adalah film ter-membuat-lelah kedua bagi saya setelah Funny Games (2007).

Rate by me : 6 out of 10

11.7.10

Despicable Me

Superbad. Superdad.


Pertama saya melihat trailer film ini, saya tertarik karena ini adalah film yang digembar-gemborkan di acara film sebuah stasiun televisi. Oke, karena Eclipse juga sangat digembar-gemborkan oleh acara tersebut, maka saya agak kurang percaya dengan reviewnya. Tetapi film animasi selalu tampak menarik untuk saya, dan trailernya tampak cukup menjanjikan. Didukung oleh komedian kawakanSteve Carell sebagai pengisi suara sang tokoh utama, Gru.

Film ini menceritakan tentang Gru (disuarakan oleh Steve Carell), seorang penjahat yang katanya penjahat terhebat ini sedang merasa terancam oleh kenyataan adanya pesaing lain yang lebih hebat darinya. Untuk mengunggulinya, Gru harus melakukan sesuatu, dan langsung direncanakan olehnya untuk mencuri sesuatu yang ‘besar’, lebih besar dari pesaingnya yang berhasil mencuri Piramid dari Mesir. Sayangnya untuk mewujudkan rencananya, Gru harus mendapatkan suntikan dana dari Bank khusus penjahat yang dikepalai oleh penjahat yang tidak pernah tersenyum, Mr. Perkins, yang tidak terlalu terkesima oleh rencana Gru dan menolak permohonan peminjamannya. Namun Gru yang tidak patah arang, tetap berusaha menjalankan rencananya, yang akhirnya membawanya bertualang bersama pesaingnya yang terlihat pintar tapi konyol, Vector (Jason Segel); ilmuwan hebat yang sayangnya harus lapuk dimakan usia, Dr. Nefario (Russell Brand); trio gadis cilik penghuni panti asuhan, Margo-Edith-Agnes; serta tidak ketinggalan The Minions, makhluk-makhluk kuning mungil nan lucu yang multifungsi dari pengasuh anak hingga menjadi lampu fluorescent.

Awalnya saya kaget melihat tidak adanya bendera produsen animasi yang saya kenal, seperti Pixar atau Dreamworks atau Lionsgate bahkan. Hal ini disebabkan oleh kesepakatan saya dan pacar saya yang mengatakan betapa banyaknya karakter di film ini yang menyerap karakter film lain. Gru mengingatkan pada Anton Ego dari Ratatouille, orang-orangnya mirip dengan orang-orang di The Incredibles, dan bahkan ada boneka Unicorn yang mengingatkan saya dengan boneka Unicorn di Toy Story 3. Ternyata film ini adalah keluaran Universal Studio bekerjasama dengan Illumination Entertainment, hmmm rumah produksi yang tidak akrab di telinga saya untuk memproduseri film animasi. Hahaha… but never mind. Mungkin ini hanya ketidaksengajaan belaka atau saya yang sok-sokan sok tahu. Yang pasti, karakter-karakternya cukup kuat, lucu dan menarik, khususnya pada makhluk-makhluk kuning super menggemaskan itu. Saya sangat kagum dengan munculnya ide menciptakan makhluk-makhluk seperti The Minions ini, meskipun tidak jelas asalnya darimana dan sebenarnya makhluk apa itu.

Over all, sayangnya tidak ada kesan mendalam yang bisa ditinggalkan dari film ini. Seperti selayaknya film Hollywood, animasi pula, yang seolah memang memiliki standar minimal tersendiri yang memang sudah begus; Despicable Me sudah masuk ke dalam standar itu. Duet sutradara Pierre Cauffin dan Chris Renaudsudah bisa membuat film ini cukup menghibur (bahkan mungkin sangat menghibur untuk anak-anak), cukup mengharukan, dan cukup menyentuh; tetapi sayang kurang cukup berkesan bagi saya saat menontonnya. Karena cukup berbobotnya karya-karya mereka berdua sebelumnya, dan Despicable Me masih bisa dikatakan sebagai debut awal mereka, saya bilang ini adalah debut yang cukup baik. Pierre Cauffin adalah sutradara Gary’s Game (salah satu film pendek Pixar favorit saya) dan Chris Renaud sudah tergabung dalam tim animasi dan artistik di beberapa film terkemuka, seperti Ice Age dan Horton Hears A Who!.

Oh ya, tadi kebetulan saya menonton film ini dalam format 2D. Tetapi saya sarankan kepada anda untuk menonton versi 3D, karena banyak adegan yang akan lebih ‘menendang’ bila anda saksikan dalam format 3D.

Rate by me : 6 out of 10

10.6.10

Tekken

Survival is no game.

Dulu, saya adalah penggemar berat game ini. Entah itu Tekken, Tekken 2, Tekken 3 dan Tekken 4 (di zaman saya kecil baru segitu serinya, sekarang sudah sampai 6), semua saya mainkan berulang-ulang. Saya hapal karakter-karakternya, kekuatannya masing-masing, jurus masing-masing, sampai cerita latar belakang masing-masing tokoh yang suka ditampilkan di film mini (maaf saya tidak tahu istilahnya) dalam video game tersebut. Saya suka ceritanya, dan selalu membayangkan betapa kerennya bila ini difilmkan seperti game Street Fighter.

Maka, ketika ada film Tekken keluar, saya langsung kegirangan. Tidak peduli ketika teman saya bilang itu kurang menarik, tidak peduli untuk melihat siapa rumah produksi antah-berantah yang memproduksi film ini. Lagipula rating film ini di IMDB 7,5 dimana Prince of Persia yang juga saya kagumi hanya mendapatkan rating 6,9.

Singkat kata, tersebutlah di sebuah bioskop super landai yang ada di Bandung, meski kurang rela menyaksikannya disana, saya menonton Tekken. Menit pertama yang dibuka dengan adegan pertandingan lalu disusul dengan adegan kejar-kejaran, menarik. Adegan selanjutnya, lumayan. Lalu menit-menit pun berjalan, sialnya dengan kecepatan yang melambat. Hingga akhirnya saya menyadari 3 hal. Pertama, jangan terlalu percaya dengan rating imdb, lihatlah dulu dengan cermat berapa votersnya. Kedua, saya berterimakasih dengen cast director yang sudah memilih Jon Foo yang luar biasa ganteng itu karena memang sangat diperlukan, cuma dialah komoditas yang paling menjual di film yang dipenuhi adegan tidak penting soal pantat cewek dan seks sebagai lambang kekuasaan ini. Yang terakhir, jangan banyak berharap. Cerita bagus pun bisa diubah dan dikebiri sana-sini oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Tadinya saya berpikir, bila ceritanya akhirnya jadi jelek, setidaknya saya bisa melihat adegan perkelahian yang seru. Tapi ternyata, saya harus kecewa. Tidak ada yang spesial dalam adegan pertarungannya, dimana saya berharap banyak disini. Jurus andalan para petarung yang ada tidak keluar sama sekali ! Cuma ada bak-buk-bak-buk, terus jatuh. Pukul sana pukul sini, terus pingsan. Sabet sana sabet sini, terus mati. Aaaargh. Saya ingin melihat Jin Kazama yang punya devil gene itu sedang melakukan jurus andalannya. Saya ingin melihat dia bertanding dengan Heihachi Mishima yang memiliki kekuatan yang sama tapi dengan kemampuan yang lebih besar. Tapi yang saya dapat adalah Heihachi Mishima yang lemah dan pasrah dan tidak diberi kesempatan bertempur sama sekali, serta Jin Kazama yang sama sekali tidak cool serta kerjaannya menggoda wanita, ia baru tampak lumayan ketika emosi. Untuk beberapa petarung memang sempat ada gaya bertarung yang masih bertahan, seperti Eddy dengan gaya Capoieranya. Tapi sayang tidak berlaku untuk Christie Monteiro. Hmm, apa saya bisa memberi contoh lain ? Ternyata tidak.

Ide ceritanya entah dapat dari skenario yang mana. Ceritanya hanya berkutat tentang masalah keluarga yang dibawa-bawa ke sebuah turnamen-yang-konon-katanya-bergengsi-tetapi-pesertanya-minim-bersponsor-dan-kekuatan-petarungnya-biasa-saja. Tidak ada bahasan lebih lanjut tentang Turnamen Iron Fist-nya sendiri yang seharusnya menjadi sentral film ini. Latar belakang para petarung yang seharusnya menjadi bumbu cerita yang menarik dibuang jauh-jauh, bahkan para petarung menarik juga turut serta dibuang. Bahkan Anna dan Nina Williams yang seharusnya memiliki bumbu cerita menarik sebagai pembunuh berdarah dingin hanya difungsikan sebagai pajangan berbadan seksi yang kebetulan bisa berkelahi. Belum lagi banyak sekali adegan vulgar yang sangat tidak penting entah dimasukkan untuk apa (tambahan cerita bukan, pemanis cerita ? boro-boro!). Sungguh saya gemas mengira-ngira apakah Dwight H. Little (sang sutradara) serta penulis skenarionya sempat berpikir dulu atau tidak sebelum menggarap cerita ini. Tanpa mengurangi segala hormat, saya pikir mungkin film ini berbudget rendah sehingga setting dan adegan fantastis jadi tak terjamah, tetapi logika saya bilang dibanding buang duit untuk membangun set Anvil dan tempat Iron Fist Turnamen yang hasilnya pun setengah-setengah, lebih baik dieksplor lagi lebih cerita yang bisa menambah kemenarikan film serta mengalokasikan dana untuk menyewa koreografer kelahi yang lebih oke.

Setelah mengetahui cerita yang bobrok dan perkelahian yang tidak seru plus pemilihan tempat menonton yang paling tidak nyaman di seantero Bandung, apa yang bisa membuat saya tetap bertahan dan tidak langsung keluar dari tempat tersebut ? Jon Foo tentu. Sang pemeran Jin Kazama yang super tampan. Beruntung tampannya bisa dikasih super, dan setidaknya dia bisa berakting sedikit. Soalnya kalau tidak, saya tambahkan ketidakberuntungan saya dengan melihat film yang hampir semua pemainnya dibayar untuk berantem dan mejeng, bukan berakting. Kecuali mungkin sang pemeran kakek lemah Heihachi Mishima, Cary-Hiroyuki Tagawa. Meski karakter yang ia perankan tidak seperti karakter yang saya bayangkan, tetapi setidaknya aktingnya untuk menjadi kakek-kakek dengan harga diri tinggi sampai rela ditembak mati demi membela prinsipnya lumayan juga. Ian Anthony Dale, pemeran Kazuya Mishima, sang antagonis disini pun lumayan, bisa mengundang timpukan orang, meski mungkin terkadang membingungkan timpukannya untuk aktingnya yang berhasil atau sekedar tak tahan melihat wajahnya yang annoying.

Bila anda penggemar berat Tekken, saya kurang menyarankan anda untuk menonton film ini kalau tidak ingin mencak-mencak sendiri, kecuali kalau anda memang sudah kepalang penasaran seperti saya sebelumnya. Bila anda bukan penggemar atau bahkan mungkin tidak pernah mendengar kata Tekken, silahkan mencoba kalau memang anda tidak berkeberatan dengan film yang memiliki adegan tidak spektakuler dan cerita yang tidak luar biasa.

Rate by Me : 4,5 out of 10

19.5.10

Robin Hood

The Untold Story Behind The Legend

Robin Hood, seorang pencuri yang terkenal hingga saat ini. Terkenal karena kebaikannya berbagi hasil curian dengan rakyat kecil pada zamannya. Tokoh ini sudah diangkat beberapa kali ke layar lebar sejak tahun 1938. Dan versi cerita yang umumnya diangkat adalah perjalanan sang pencuri melawan para koruptor di zamannya dengan bantuan teman-temannya. Yang paling saya ingat beberapa diantaranya tentu adalah Little John yang berbadan besar dan Rahib gendut yang saya tidak tahu namanya. Robin Hood versi terbaru telah bartandang di bioskop terdekat saya. Saya bersemangat menontonnya, meski saya merasa sudah mengetahui garis besar ceritanya, saya harap kemasannya akan sangat apik dibawah arahan Ridley Scott (juga sutradara Gladiator dan Hannibal).

Saat saya menonton awal film, saya agak bingung. Bagaimana caranya seorang pencuri tiba-tiba ada di dalam perang Inggris-Prancis ? Menit-menit berjalan, dan saya tambah bingung, lalu bersandar di kursi sambil tersenyum. Mr Scott menceritakan sejarah Robin Hood dari awal, dan itu sejarah yang tidak saya ketahui sebelumnya. Hingga menit demi menit berjalan, dan saya yang sebetulnya menunggu cerita Robin Hood sudah benar-benar menjadi pencuri, saya tertawa dalam hati. Saya merasa cukup sok tahu. Hahaha. This is the beginning of Robin Hood, and I like the way Mr Scott tells us in his movie. And I love the epic scene. Also the place where France just arrived in England. Adegan-adegan detil dari peperangan juga indah. Membuat saya tidak sabar menunggu sekuelnya.

Yang paling menari perhatian saya adalah titling dari film ini. Lukisan kanvas bergerak ? Hahaha ide yang bagus sekali.

Saya tidak sabar menunggu film sekuelnya !

Rate By Me : 7,5 out of 10

12.5.10

LES ENFANTS DE TIMPELBACH – A REVIEW

This Christmas, they're getting their comeuppance!

Pada suatu kesempatan, pacar saya mengajak saya untuk menonton film di Festival Film Prancis Bandung. Kebetulan saya memang suka menonton dan film-film Prancis yang saya tonton tidak ada yang mengecewakan, jadi dengan semangat saya memenuhi ajakannya. Film yang di putar totalnya ada empat film, tetapi sayang sekali saya hanya sempat untuk menonton satu film saat itu. Dan film yang saya tonton adalah film memiliki resume menarik keluaran 2008, Les Enfants de Timpelbach (Anak-Anak dari Timpelbach).

Film ini menceritakan tentang anak-anak dari desa Timpelbach yang rata-rata kenakalannya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Mereka sangat gemar membuat kekacauan dan mengganggu para orang dewasa. Sampai akhirnya para orang dewasa (termasuk orang tua dari anak-anak tersebut) habis kesabarannya dan memutuskan untuk memberikan anak-anak itu sebuah hukuman. Para orang dewasa akan pergi dari desa selama satu hari penuh, sehingga dalam desa tersebut hanya ada anak-anak. Sayangnya saat hendak pulang, para orang dewasa ini tiba-tiba ditangkap sekelompok prajurit sehingga anak-anak tersebut harus bertahan tanpa orang dewasa lebih lama dari yang mereka kira.

Untuk penyutradaraan serta naskah skenario, tidak ada yang spesial. Tetapi saya sangat suka idenya. Sebuah desa tanpa orang tua, bisa anda bayangkan itu ? Mungkin cerita ini bermula dari sebuah pertanyaan, “apa yang akan terjadi bila ada orang tua yang tega meninggalkan anaknya sendirian tanpa pengawasan ?”. Ternyata dari kalimat sependek itu dapat keluar ide ini. Desa dan kostumnya yang diset sebagai desa antah-berantah sangat manis sebagai gambaran desa kecil. Saya sangat suka settingnya, lucu ! :D

Banyak anak kecil disini, yang saya kira tidak usah saya bahas kemampuan aktingnya, bermain dengan sangat manis. Well, pada dasarnya saya sangat suka dengan anak kecil, jadi sangat menyenangkan melihat tingkah lucu bocah-bocah tersebut di layar. Dan saya memang sering sekali tertawa gemas sepanjang film gara-gara tingkah mereka. Tetapi saya kurang setuju saat mereka mencoba berakting untuk menjadi lebih dewasa. Saya pribadi memang mengasihani pribadi bocah yang bertingkah lebih tua dari umurnya. Dan ada lagi beberapa hal yang sangat saya sayangkan dari film ini, yaitu adanya adegan perang antar anak-anak yang benar-benar memakai aksi pukul-memukul dan penggambaran tindakan rebel anak-anak yang ingin cepat dewasa dibawa terlalu jauh oleh Nicolas Bary (sang sutradara). Saya pikir ini bisa menjadi salah satu pilihan film keluarga, tetapi saya langsung menghapus pikiran itu di saat-saat terakhir. Adanya adegan pukul-memukul (literally) antar anak-anak saya rasa bukan adegan yang baik untuk ditonton anak-anak. Apalagi adegan anak-anak yang sedang minum bir di bar sambil berjudi, bahkan menggoda lawan jenis layaknya orang dewasa.

Ada dua bonus besar yang saya dapat dari film ini. Pertama, munculnya Gerard Depardeu di penghujung film ! Hahaha. Saya suka dengan beliau semenjak menonton Asterix dan Obelix, dan saya sudah lama tidak melihat beliau dalam film. Jadi itu kejutan kecil untuk saya. Dan yang kedua, ada bocah super ganteng di film ini. Supergantenggapakebohong. Hahaha. Saya berulangkali bergumam memuji kegantengan bocah ini sepanjang film (sampai akhirnya merasa norak sendiri dan meyakinkan diri sendiri kalau saya bukan lolita complex). Wahai Martin Jobert, akan saya tunggu kau sedikit dewasa dan (semoga) bisa menembus pasar internasional jadi setidaknya saya bisa melihatmu di film berikutnya. :D

Rate By Me : 6 out of 10

11.5.10

IRON MAN 2 – A REVIEW

“2”

Iron Man 2 is coming !!

Itu sudah menjadi animo yang cukup heboh diantara teman-teman saya, menjelang keluarnya jadwal pemutaran Iron Man 2 di Bandung. Terutama saya sendiri, yang sangat ‘tertangkap’ oleh kharisma Tony Stark di Iron Man pertama. Saya menunggu dan sangat tidak sabar untuk menontonnya. Kurang beruntung karena saya tidak bisa menonton pemutaran premierenya, tetapi tak apa karena akhirnya saya menonton film ini 2 kali (dan mungkin akan menjadi 3 kali :D)

Untuk Iron Man pertama yang menceritakan proses lahirnya pahlawan paling narsis sedunia (mungkin) tersebut, yang paling membekas di hati saya adalah ketika seorang superhero tidak harus tampak seperti superhero, dan bahkan tidak bertingkah seperti superhero. Iron Man menurut saya adalah sosok superhero yang paling manusiawi yang pernah saya temui. Ia melakukan apa pun yang ia sukai tidak peduli apa pendapat orang, Ia melakukan hal yang menurutnya benar meski seringnya tanpa perhitungan dan ia tidak berusaha untuk tampil sempurna. Hmm, so damn human.

Iron Man 2 menceritakan tentang kelanjutan pengakuan Tony Stark (Robert Downey Jr) yang menggemparkan di Iron Man 1. Baju Iron Man dianggap sebagai senjata dan pemerintah meminta Stark untuk menyerahkannya ke militer, lewat pendekatan sahabatnya Rhodey (Don Cheadle). Dengan munculnya Stark sebagai Iron Man di TV, mendorong seorang scientist Rusia, Ivan Vanko (Mickey Rourke) yang memiliki dendam pada Stark untuk muncul dan tiba-tiba menyerang Stark di sebuah sirkuit. Belum lagi saingan Stark, Justin Hammer (Sam Rockwell) sedang melakukan segala cara untuk menjatuhkan Stark. Keadaan Stark Industri sangat kacau karena Stark yang memiliki masalah kesehatan dengan Palladium yang meracuninya tidak memperhatikan perusahaannya lagi, sehingga Pepper Pots (Gwyneth Paltrow) sang asisten sekaligus kekasihnya yang harus membereskan masalah-masalah perusahaan. Tony Stark memang terkenal suka membuat masalah, tetapi tak selamanya Ia bisa lari. Sekarang ia harus menghadapinya satu per satu.

Di film kedua ini, pertama saya sudah jatuh cinta dengan trailernya. Firasat saya film ini akan sama mencengangkannya dengan yang pertama. Aksi yang keren, dialog yang menarik, serta tingkah unik sang tokoh utama, adalah formula yang saya tunggu. Dan syukurlah, meski ternyata saya masih lebih puas dengan film pertama, Iron Man 2 tidak mengecewakan (meskipun saya agak sebal adegan yang saya sukai di trailer ternyata tidak keluar di filmnya). Jon Favreau cukup berhasil membuat sekuelnya.

Iron Man 2 is so Tony Stark. Itu yang paling saya tangkap. Narsismenya, egonya, tingkahnya, semua yang mempengaruhi elemen-elemen film ini berasal dari Tony Stark itu sendiri. Dan sekali lagi, bisa saya katakan Robert Downey Jr sudah menyatu dengan Tony Stark seperti Tony Stark dengan baju Iron Man-nya. Meski mungkin anda akan tercuri juga kehadirannya dengan Black Widow (Natalie Rushman/Natasha Romanoff), tapi menurut saya itu adalah faktor Scarlett Johansson yang luar biasa, sebagai pemeran pembantu.

Dialog-dialog yang ada segar dan menarik, dan jujurnya saya lebih ‘melek’ saat menonton adegan percakapannya dibandingkan adegan serunya. Sorry to say, but I think the exclaimed scene is little bit corny and too ordinary for this movie. Saya juga sempat dilanda kebosanan saat menonton pertengahan film, meski saya tidak tahu apa yang membuat bosan disitu. Seperti yang saya bilang, yang membuat saya terpaku di film ini hanyalah aura Toni Stark yang kental (yang dimana saya juga penggemarnya) dan dibawakan dengan baik oleh Robert Downey Jr, serta dialognya yang segar dan menarik.

However, tampaknya film ini masih tetap menjadi film yang sangat saya tunggu sekuelnya bila keluar nanti J

Rate By Me : 7,5 out of 10

Sedikit Perubahan Sistem Rating

Setelah beberapa kali memberi rating pribadi, saya suka bingung dengan film yang ingin saya beri nilai dengan perbandingan yang tidak terlalu presisi. Maka dari itu mulai sekarang sistem rating pribadi saya, saya berikan dengan range 1-10. Semata-mata hanya agar lebih akurat dan enak untuk memberi nilai.

Terima kasih J

12.4.10

CLASH OF THE TITANS – A REVIEW



Titans will clash.

Between gods and men, the clash begins.

Caution !! Spoiler Alert !! Better you’ve watched the movie before you read this.

Film ini sempat menjadi list paling pertama saya di daftar “film yang harus ditonton bulan ini”, tidak peduli betapa jeleknya tagline-taglinenya. Trailernya menjanjikan, animonya menyenangkan. Tetapi, apa daya saya baru bisa menonton setelah kebanyakan teman-teman saya sudah selesai menontonnya. Dan anehnya ternyata kesan mereka setelah menonton tidak seramah yang saya duga. Bahkan beberapa ada yang menyarankan untuk tidak menonton sekalian. Tapi kepalang penasaran, akhirnya dari niat awal ingin menonton film ini dengan format 3D di studio utama, beralih menjadi menonton di bioskop murah super landai (ada yang bisa menebak dimana?) dengan format 2D saja.

Clash of the Titans ini sebetulnya secara harafiah seharusnya bercerita tentang pertarungan antar monster-monster. Secara garis besar, ceritanya memang begitu. Alkisah gara-gara Zeus dan dewa-dewa lainnya murka akibat ulah manusia yang hendak menentang para dewa karena merasa dipermainkan terus nasibnya. Lalu Zeus memerintahkan Hades untuk mengadu domba manusia agar mereka dapat dihancurkan. Hades akhirnya memutuskan untuk melepaskan Kraken, seekor monster mega besar yang dapat menghancurkan kota Argos (kota tempat tinggal manusia penentang yang tidak tahu terimakasih itu). Yang bisa mengalahkan Kraken konon kata para penyihir kanibal buruk rupa yang hanya punya satu mata hanyalah mata dari medusa, monster cantik berambut ular yang bisa membuat apapun yang melihat matanya menjadi batu. Tapi tentu medusa bukan sejenis monster peliharaan yang akan sukarela membuat Kraken menjadi batu. Kepala Medusa harus dipenggal baru dibawa kehadapan si monster. Dan yang ditugaskan untuk memenggal Medusa adalah Perseus, seorang pemuda setengah dewa gagah perkasa yang di-hire tiba-tiba oleh sang raja.

Sebetulnya, cerita Perseus sendiri lebih panjang lagi. Dan sebelum menuliskan cerita film ini, saya benar-benar berpikir keras saya harus menuliskan inti cerita yang mana, karena cerita panjanglebar diatas belumlah lengkap sebagai resume cerita. Sang tokoh utama, Perseus, mempunyai line cerita sendiri tentang kebenciannya terhadap dewa sedangkan ironisnya ia adalah anak dari dewa Zeus. Lalu ada Io, seorang wanita misterius yang tidak bisa tua. Beliau sudah mengawasi Perseus sejak ia kecil, tanpa ada alasan yang jelas apakah sebetulnya Io ini teman ibunyakah atau hanya kebetulan saja melihat bayi dan ibu-ibu dibuang ke laut oleh ayah yang buruk rupa lalu tertarik untuk mengawasi anaknya. Lalu ada konflik Hades yang ingin mengkudeta dan menguasai Olympus dengan cara ‘main belakang’. Hades yang pandai berbicara berhasil membuat Zeus khilaf lalu menyerang manusia yang berakibat melemahkan dirinya sendiri. Tapi sayang keberhasilan Hades berhasil digagalkan Perseus, yang bisa mengalahkan Kraken.

Berantakan. Itu yang saya sangat herankan dari film berdurasi 182 menit ini. Penggambaran karakter yang absurd juga sangat mengganggu. Ceritanya bergulir dengan aneh, beberapa muncul tokoh-tokoh mitologi Yunani tanpa sebab ataupun latar belakang yang jelas. Humornya hanya seramai bunyi jangkrik. Plot sebab-akibatnya pun seringnya membuat dahi saya berkerut karena terlalu kontradiksi. Contohnya saja ketika Perseus sedang melakukan perjalanan hendak mencari cara yang dapat mengalahkan Kraken, tiba-tiba saja Perseus mendapatkan banyak bantuan dari dewa, seperti Pegasus dan sebilah pedang sakti mandraguna. Padahal kan Perseus sendiri melakukan perjalanan itu dengan dilandasi kebenciannya dengan dewa dan tujuan awalnya untuk melawan para dewa. Dewa disini digambarkan menjadi penguasa yang ternyata suka bertingkah seenaknya dengan ciptaannya. Tetapi manusia disini juga digambarkan menjadi makhluk manja yang tidak tahu diri. Saya tidak mengerti jadinya, yang harus saya lakukan harus simpati ke siapakah, dan tujuan dari penokohan serta korelasinya dengan pengembangan cerita sebetulnya apa ?

Ternyata film yang disutradarai oleh Louis Leterrier ini adalah sebuah remake dari film yang berjudul sama keluaran tahun 1981. Saya belum menonton film aslinya, tetapi dari artikel yang saya baca, ternyata memang untuk Clash of the Titans keluaran terbaru ini banyak sekali mengalami pengembangan ide cerita. Sehingga bagi yang telah menonton filmnya yang terdahulu, pasti masih akan melihat banyak hal baru disini. Yang saya nilai dari film ini, Louis Leterrier berusaha untuk menggabungkan banyak legenda Yunani untuk ia kemas menjadi lebih menarik dan diharapkan menjadi lebih ‘baru’ dari film lamanya. Leterrier berusaha menggabungkan 4 legenda sekaligus, yaitu Perseus, Medusa, the Kraken, dan Io. Tapi sayangnya, gabungannya tidak berhasil. Pertemuan antara Medusa dengan Kraken mengundang tanda tanya besar di otak saya bagaimana kutukan (mengubah apapun menjadi batu adalah kutukan yang diberikan kepada Medusa) masih bisa berjalan bahkan setelah sang makhluk dipenggal mati, padahal hal yang sama tidak berlaku untuk Io, yang jasadnya langsung menjadi abu dan menghilang saat mati. Lagipula setahu saya Kraken bukanlah legenda Yunani, tetapi legenda yang terdapat di Norwegia. Cerita Perseus (yang diceritakan tidak sesuai aslinya dan malah membuat saya semakin mengernyitkan dahi) dan Io yang sangat janggal juga mengganggu. Bahkan disini saya merasa karakter Io dibuat hanya sebagai pemanis untuk bumbu percintaan Perseus, dan untungnya berhasil menjadi penarik yang sangat membantu.

Io (Gemma Arterton) yang luar biasa cantik adalah satu-satunya yang berhasil membuat saya setidaknya bertahan untuk tetap berkepala dingin ketika menonton. Dan saya pikir mungkin itulah fungsi sesungguhnya karakter Io disini. Saya melihat yang bermain di film ini kebanyakan adalah artis yang menjanjikan. Lihat saja Liam Neeson yang berperan sebagai Zeus, serta Sam Worthington yang berperan sebagai Perseus. Tetapi lagi-lagi saya kecewa, karena mereka tidak berhasil menemukan chemistry-nya dengan karakter masing-masing.

Mengutip dari seorang reviewer, Dimitris T dari www.imdb.com :

Mythology is the legacy of the centuries gone by. Film makers should respect it and learn from it. It's funny how they think they can do better :)

Totally true, pal !

Rate by me : 2 out of 5

4.4.10

3 Idiots

Choose Excellence – Success will Follow

Don't be stupid, be an idiot.”

“All is weelll...”

Lagi-lagi saya terpanggil untuk menonton film India. Hmm sungguh sedang naik daun rupanya. Setelah terkesima dengan “My Name Is Khan”, sekarang saya membawa ekspektasi baru lagi untuk menonton film ini, “3 Idiots”. Saya sudah bersiap-siap untuk pegal, karena seperti umumnya film india, film ini berdurasi hampir 3 jam. Dan memang saya masuk studio pemutaran pukul 15.05 dan baru keluar pukul 18.00. Saya juga tak lupa membawa rasa toleransi lebih barangkali akan ada adegan yang sangat lebay atau guyonan gila didalamnya. Judulnya saja 3 Idiots, genrenya komedi, poster filmnya bikin geli. Jadi saya pikir film ini akan mengocok perut saya, maybe literally in idiots way.

Film yang memenangkan banyak penghargaan di India ini ternyata diadaptasi dari novel karangan Chetan Bhagat yang berjudul “5 Point Someone – What not to do at IIT”. Diceritakan tentang 3 orang sahabat yang kuliah di ICE (Imperial College of Engineering) yang terjalin persahabatannya karena menempati kamar yang sama di asrama kampus. Film ini dibuka dengan pencarian salah seorang dari 3 sahabat ini yang menghilang begitu saja semenjak upacara kelulusan mereka. Tiga orang sahabat ini adalah Rancho (Aamir Khan) pemuda berotak cerdas yang memiliki pola pikir sangat out of the box; Raju (Sharman Josi) pemuda yang membawa beban masa depan karena menjadi tulang punggung keluarganya, dan Farhan (R. Madhavan) pemuda yang masuk ke ICE untuk menjadi insinyur padahal bermimpi menjadi fotografer. Selama perjalanan kuliah mereka, sosok Rancho yang sangat unik inilah yang membawa banyak hal dalam kehidupan Raju dan Farhan. Apalagi berada dibawah pengawasan rektor yang sangat tidak menyenangkan bernama Professor Viru Sahastrabudhhe -para mahasiswa memanggilnya ViruS- (Boman Irani) yang sungguh tidak sesuai dengan perangai Rancho, membuatnya muncul untuk melawan hingga dikenal sebagai pembuat onar. Tetapi uniknya Rancho malah bisa mencuri perhatian anak sang rektor, Pia (Kareena Kapoor). Dan sang Rancho inilah yang dicari, tidak hanya olah kedua sahabatnya, tetapi juga oleh ‘musuh bebuyutan’nya semasa kuliah dulu, Chatur aka Silencer (Omi Vaidya) demi taruhan yang mereka berdua buat dahulu kala.

Amazingly stunning. Rajkumar Hirani (sang sutradara) luar biasa. Lupakan ekspektasi saya yang tidak tahu diri di awal, karena saya salah total. Beberapa adegan lebay yang mungkin sudah jadi ciri khas film India hanya disadari, tapi tidak teringat sama sekali. Saya terharu, tertampar, tertawa, sesuai kemana film ini menghanyutkan saya. Komedinya tidak melulu tentang membodohi seseorang, dramanya tidak melulu tentang tangisan. Terutama tentang pesan-pesan yang dibawa didalamnya, saya berulang kali menunduk malu sekaligus tertawa karena merasa tersindir. Well, latar belakang film ini kebetulan sama dengan saya yang sedang berusaha lulus dengan nilai bagus di Institut Teknologi yang isinya sama persis dengan film itu. Idealisme tentang gelar dan pride, label yang tercetak di masyarakat kalau posisi yang dikatakan berhasil hanya 2 : dokter dan insinyur (errm itupun dengan nilai yang bagus tentu), pola pikir yang selalu melihat permukaan tanpa pendalaman, pandangan mahasiswa sebagai pencetak nilai sejati alih-alih pelajar sejati, sungguh semua itu nyata. Senyata kehidupan saya. Senyata emosi film ini bisa membawa saya.

Tadinya sebelum menonton saya agak heran dengan pemilihan aktor dan aktrisnya. Aamir Khan dan Kareena Kapoor (maaf saya tidak kenal yang lain) yang sudah saya lihat di TV sejak SMP berperan sebagai mahasiswa dan dokter muda? Apa aktor-aktris India sedang kesulitan dalam hal regenerasi ? Ah. Tapi semua ternyata terlupa saat menonton filmnya. Aamir Khan masih sangat cocok menjadi mahasiswa, bahkan menjadi mahasiswa rebel, secara fisik maupun secara emosional. Kareena Kapoor ternyata juga bisa berperan menjadi dokter muda yang berpendidikan dan anggun. Saya jadi terkesima karena setiap menonton filmnya beliau berperan menjadi mahasiswa centil nan menggoda, hehe. Karakter-karakternya dikemas dengan unik. Penokohan semuanya terlihat tepat, tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang tidak penting di otak saya.

Saya tidak suka dengan tarian dalam film India, tapi saya tidak keberatan dengan itu disini. Tadinya saya notabene bukan penggemar berat film india, tetapi saya menjadi penggemar berat film ini. Tiga jam terduduk di studio tanpa merasa bosan dan bahkan tidak terpikir melihat jam, bayangkan !

“Aal izz weelll....” (all is well) à terus terngiang-ngiang di otak saya... :D

Rate by me : 4,5 out of 5

My Name Is Khan

My name is Rizvan Khan. Khan. And I am not a terrorist.


Pertama kalinya saya melihat poster film ini, jujur saya tidak tertarik. Mungkin karena waktu itu saya belum mendengar pujian-pujian orang mengenai film ini dan saya memang bukan penggemar berat film india. Tetapi ketika saya melihat kursi studio yang menayangkannya selalu penuh serta teman-teman saya mulai hot membicarakan betapa dahsyatnya “My Name is Khan”, mau tak mau saya jadi sangat tertarik dan penasaran.

Film ini berdurasi sangat lama, 165 menit (2 jam 45 menit). Bercerita tentang Rizvan Khan (Sakhrukh Khan), seorang penderita Asperger Syndrom yang pindah ke Amerika setelah ibunya meninggal untuk tinggal bersama adiknya. Di Amerika, ia jatuh cinta lalu pacaran dengan seorang wanita hindi yang ditemuinya disana, Mandira (Kajol), hingga mereka berdua menikah. Hubungan Khan dan Mandira ditentang oleh adiknya karena perbedaan agama (Khan muslim sedangkan Mandira hindu). Tetapi hidup ternyata lebih menentang pernikahan mereka sejak peristiwa 9/11 menyerang Amerika, terlebih setelah sesuatu menimpa anak tiri Khan akibat peristiwa itu. Bahkan Khan harus bertemu Presiden Amerika saat itu hanya untuk mengatakan “I’m not terrorist.” untuk menghentikan ujian hidup itu.

Peringatan bagi yang mudah pegal dan capai, lebih baik anda memilih waktu menonton yang santai dan tidak terlalu malam. Hampir 3 jam terus duduk itu agak menyiksa juga. Tetapi untunglah filmnya sangat tidak membosankan. Saya ingin standing applause setelah menonton untuk sang sutradara, Karan Johar, karena telah membuat alur cerita yang sangat tepat penempatan up and down emosinya sehingga mata tidak bisa lepas dari layar selama itu. Memang untuk beberapa hal, adegannya terasa terlalu lebay dan Bollywood, bahkan untuk beberapa adegan alih-alih membuat suasana heroik malah membuat saya seperti menonton film popcorn superhero. Endingnya juga agak disayangkan dan saya pertanyakan kenapa kemasannya harus seperti itu. Tetapi hal-hal tersebut masih bisa dimaafkan dan tidak begitu mengganggu.

Film yang mengedepankan isu rasisme ini berhasil mengangkatnya dengan cukup netral dan tidak menghakimi. Cukup jelas didalamnya dijelaskan mengenai hukum sebab-akibat serta penanaman petuah mengenai mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak. Masalah agama yang diangkat pun sangat real. Masalah perseteruan Hindu-Islam di India, perlakuan warga Amerika yang sakit hati akibat 9/11, generalisasi muslim di mata Amerika, semua diceritakan apa adanya. Pesan morilnya ada di sepanjang film dan saya tidak merasa digurui. Untuk sinematografi sebetulnya biasa saja, tapi melihat dari banyak lokasi menawan yang lumayan mengelilingi Amerika dan beberapa gambar yang jelas diambil dari helicopter, ini yang membuat jadi luar biasa. Saya rasa bujet film ini juga luar biasa, hehe.

Poin selanjutnya yang ingin saya puji dari film ini adalah sang aktor, Sakhrukh Khan, yang memerankan tokoh Rizvan Khan dengan sangat baik. Saya memang menghormati kemampuan akting beliau dengan melihat beberapa film yang ia perankan (Kuch Kuch Hota Hai, Devdas), tapi untuk peran ini saya merasa aktingnya sangat luar biasa. Aktingnya sebagai pengidap Asperger Syndrom cerdas yang sangat mencintai istrinya dan terdidik sebagai orang baik-baik (literally) patut diacungi jempol. Sayangnya saya merasa hanya akting Sakhrukh Khan yang menonjol disini, bahkan kurang diimbangi olah akting Kajol sebagai Mandira. Tetapi sebetulnya penampilan semuanya disini juga tidak buruk, hanya memang biasa-biasa saja.

Saya menonton film ini dengan ekspektasi tinggi, dan terbayar lunas. Film ini penuh dengan pesan moral, mengharukan, dan bisa membuat anda bertahan di kursi selama 3 jam.

Satu kalimat yang paling membekas dalam otak saya dari film ini (maafkan kalau kata-katanya tidak persis sama, saya lupa persisnya. Intinya sih begini) :

Earlier Americas time had 2 phases, BC & AD. But now it has 3, BC, AD & 9/11.

Rate by me : 4,5 out of 5

3.4.10

Bangkok Traffic (Love) Story

Thailands do not just have ghosts, they also have love.”


Film ini disebut-sebut sebagai film terlaris Thailand tahun 2009, hingga mengalahkan Phobia 2. Tapi saya ingin menonton film ini tentu bukan karena itu (tahunya pun baru setelah nonton :D), tetapi karena jadwal penayangannya di Bioskop yang sangat aneh : hanya diputar selama 3 hari dan itupun diputar hanya pada pukul 23.45. Misterius. Hahaha. Jadi di hari pertama pemutaran, saya beserta teman-teman saya mencoba meluangkan waktu untuk menonton.

Film ini berkisah tentang seorang wanita middle age clumsy, Ly (Sirin Horwang), yang baru ditinggal menikah oleh semua teman-temannya, sedangkan dirinya bahkan belum memiliki kekasih. Dalam perjalanan pulang dari pernikahan sahabatnya, Ly yang sedang mabuk berat mengalami kecelakaan. Tapi kecelakaan itu yang mempertemukannya dengan Loong (Theraadej Wongpuapan), seorang insinyur muda nan tampan. Pertemuan mereka ternyata tidak berhenti sampai disitu, yang membuat Ly merasa bahwa Loong adalah pria idamannya dan memutuskan untuk mengejar cinta Loong. Tetapi perjalanan Ly tidak semulus itu, karena Loong juga pria idaman banyak wanita termasuk Plern (Ungsumalynn Sirapatsakmetha), tetangganya yang cantik dan masih belia.

Tiga per empat jam di awal, film ini sungguh berusaha untuk mengocok perut ! Guyonannya yang sangat asia (mirip-mirip film Indonesia) sebetulnya cukup segar dan menghibur, tetapi untuk beberapa guyonan jadi sangat garing dan jatuhnya jadi mengganggu. Tetapi tiga per empat jam ke belakang, film dibawa dengan sangat manis dan membuat para wanita meleleh. Ly sang tokoh utama sosoknya sangat dekat dengan realita, (khususnya Indonesia mungkin) mewakili gambaran wanita middle age yang masih mencari cinta. Loong (yang saya pribadi mengakui kalau dia sangat tampan dan sedikit mirip dengan aktor Junot dari Indonesia :D) pun tepat sekali menggambarkan tokoh yang pasti menjadi interest para wanita seperti Ly.

Kisah cinta yang sebetulnya klise ini ternyata berhasil dibawakan dengan sangat manis dibawah arahan sang sutradara, Adisorn Tresirikasem. Unsur-unsur budaya Thailand pun beberapa persen menjadi bagian film yang memeriahkan film ini, khususnya tentang lalu lintas kota Bangkok yang porsinya cukup banyak sesuai dengan judulnya. Dan saya baru tahu disini kalau Bangkok, kesehariannya sangat mirip dengan Jakarta. Gedungnya, kemacetannya, transportasinya (kecuali kereta), rumah-rumahnya, beserta isinya. Membuat film ini terasa sangat familiar dan nyata bagi saya.

Biasakan telinga anda dengan dialek dan bahasa Thailand yang cukup menggelitik telinga itu, terutama bila masuk ke bagian scoring dan backsound. Karena lagu yang diputar meski maksudnya romantis bisa membuat anda tertawa. Tapi itu yang menguatkan unsur Thailand disini dan membuat film ini sangat manis tapi sekaligus sangat lucu, hehehe.


Rate By Me : 3,5 out of 5

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON



Apa yang ada di pikiran mu bila mendengar kata ‘naga’ ?

Hmm. Makhluk yang besar, menyeramkan, menyemburkan api dan menyerang manusia.

Hohoho, tapi anda akan langsung membuang pikiran tersebut setelah menonton film ini : “HOW TO TRAIN YOUR DRAGON”.

Film ini berkisah tentang sebuah desa Viking yang memiliki masalah dengan hama yang mengganggu ternak mereka. Tapi hama ini bukan sekedar hama. Hama mereka adalah sekumpulan naga yang terdiri dari berbagai jenis dan sewaktu-waktu akan datang mengambil ternak-ternak mereka. Disinilah Hiccup, sang tokoh utama yang tidak kuat dan tidak tampan, tumbuh. Seperti umumnya remaja Viking disitu, impiannya adalah menjadi pembunuh naga nomor 1. Tetapi sayang hal ini terhalang oleh kondisi tubuhnya yang kecil dan sifatnya yang tidak brutal. Jujurnya, ia hanyalah seorang murid pandai besi berotak cerdas yang memiliki mimpi membunuh banyak naga—sampai ia bertemu dengan seekor naga yang berhasil ia tembak terjatuh di hutan. Apakah ia berhasil mewujudkan mimpinya dengan membunuh naga tersebut, atau dia berubah pikiran ?

Film ini diangkat dari buku cerita anak-anak yang berjudul sama karangan Cressida Cowell. Well, saya belum pernah membaca bukunya. Tetapi dari artikel yang saya baca, untuk mangangkat cerita ini ke layar lebar, Chris Sanders dan Dean deBlois ,duo sutradara, serta tim ceritadan animatornya berbuat cukup banyak agar dapat menghasilkan sebuah film dengan cerita yang dapat diterima anak-anak. Tetapi dari yang saya tonton, film ini sudah berhasil dikemas dengan visual yang luar biasa (meski saya menonton dalam format biasa, bukan 3D) dan berkualitas. Pesan dan arahan film ini pun sangat baik bagi anak-anak dan cukup menyentuh untuk orang dewasa.

Tokoh-tokoh yang ada dapat digambarkan dengan netral dan jelas memiliki alasan sebab-akibat. Tidak hanya di plot siapa yang protagonis, siapa yang antagonis. Awalnya untuk pengisi suara, saya cukup ragu dengan America Ferrera yang mengisi suara Astrid, cewek Viking yang kuat, cantik dan menjadi taksiran Hiccup (maksudnya, gimana ya ngebayangin Betty La Fea jadi cewek Viking?). tapi ternyata penokohannya sudah pas porsinya masing-masing, dan emosi yang dibawa tokohnya cukup mengena.

Film ini sangat recommended untuk ditonton bersama keluarga. cukup seru, sangat menghibur, dan berkualitas. (tapi hati-hati dan jangan kaget bila tiba-tiba anak anda akan merengek meminta peliharaan naga ;D)

Btw, saya disadarkan oleh pacar saya akan kemiripan sang naga, Toothless, dengan tokoh Stitch dari Lilo ‘n Stich. Setelah dilihat-lihat di internet, ternyata Chris Sanders juga sutradara dari film Lilo ‘n Stitch... hahaha. :D

toothless

stitch


Rate by me : 4 out of 5

500 Days of Summer

“Boy meet girl. Boy falls in love. Girl doesn’t.”

“It’s not a love story, but it’s a story about love.”


Dua tagline diatas benar-benar menggambarkan film ini, tidak lebih dan tidak kurang. 500 Days of Summer bukan kisah cinta dalam dongeng atau pun sejenis kisah cinta ‘happily ever after’ yang lainnya. Ceritanya benar-benar cerita cinta yang realistis, tidak menjual mimpi, dan ‘menampar’ banyak orang (well, setidaknya menampar banyak teman-teman saya dan bahkan menyentil diri saya sendiri :D). Bila anda berpikir saya berlebihan, percayalah, tonton filmnya dan buktikan sendiri.

Kisahnya sendiri sebetulnya sangat klasik. Seorang penulis kartu ucapan kikuk yang bernama Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) jatuh cinta kepada teman kantornya, Summer Finn (Zooey Deschanel), gadis brilian yang luar biasa cantik. Tetapi sayangnya Summer yang sebetulnya menerima cinta Tom tidak dapat memberikan hubungan resmi seperti yang Tom harapkan.

Klise bukan ? Bayangkan dan hitung saja berapa banyak film romantis (entah itu drama ataupun komedi) dengan cerita yang berupa ragamnya (walau kadag mirip-mirip juga kalo ga sama persis) tapi memiliki formula yang sama : mereka bertemu, mereka jatuh cinta, terjadi konflik, dan ending yang menentukan apakah mereka mempertahankan cerita mereka atau tidak. Secara garis besar, 500 Days of Summer pun memiliki formula yang sama. Tapi dalam kemasan yang berbeda.

Latar belakang yang realistis. Cerita yang realistis. Romansa yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pengemasan cerita dengan sentuhan pengharapan dan kenyataan ini dikemas dengan sangat apik oleh Marc Webb. Cerita yang realistis ini digubah dengan sentuhan dramatis yang tepat oleh Scott Neustadter dan Michael H. Webber. Penokohan serta tokoh yang dipilih tepat untuk menggambarkan Tom yang kikuk dan sangat jatuh cinta pada Summer, dan Summer yang cantik dan sadar kalau dia cantik. Serta soundtracknya, sama luar biasanya dan sangat melengkapi filmnya.

Saya, singkat kata mengatakan : 500 Days of Summer, film yang berhasil masuk ke dalam jajaran IMDB Top 250, benar-benar wajib ditonton oleh pecinta romantisme, pecinta realitas, pria-pria penuh mimpi, dan wanita penjual mimpi.


Rate by me : 4 out of 5

2012

we were warned.

Sejujurnya, saya punya ketertarikan yang sangat rendah untuk menonton film ini. Karena teman saya yang punya satu selera film dengan saya tertidur ketika menontonnya. Dan berdasarkan review teman saya yang lainnya pun, mereka semua lebih banyak yang kecewa dengan film ini. Awalnya, saya pikir mungkin film ini akan mirip-mirip dengan film The Day After Tomorrow (2004, yang menggambarkan bencana akibat pemanasan global), dengan cerita bencana yang mirip-mirip hanya dengan issue yang lebih ‘terkini’, tetapi pemain utamanya lebih tua saja.

Tetapi saat kunjungan impulsif saya ke Bioskop kemarin, dan mendapati film yang sebenarnya ingin saya tonton bersama pacar saya sudah penuh untuk semua studio, saya memilih film ini. Jadi intinya, saya menonton film ini dengan ekspektasi yang sangat rendah. Okeydokey, it’s just a popcorn movie, so I better be just sit and watch and enjoy.

Dan voila! Beberapa hal terjadi seperti saya duga sebelumnya : cerita yang sangat Hollywood, All-hail America!-things, efek yang menakjubkan, dan beberapa blunder yang sebaiknya jangan dipikirkan. Tapi terlepas dari semua itu : saya sangat enjoy menontonnya! Saya ikut terharu di beberapa adegan sedih, saya ikut marah di beberapa adegan menyebalkan, saya cukup ikut terhanyut dalam film ini. Tetapi satu hal yang perlu ditekankan disini, jangan berpikir saat menonton film ini, teman-teman. Jangan pikirkan saat dunia mau kiamat, ternyata dari banyak pemimpin negara, yang masih berhati manusia hanya dua orang. Jangan pikirkan bagaimana perusahaan-perusahaan telekomunikasi Amerika membangun jaringan sinyal telepon selular dengan sedemikian hebatnya sehingga saat dunia runtuh pun mereka masih bisa saling menelepon. Jangan pikirkan betapa pasrahnya seorang peneliti yang sebetulnya penemu hal sekrusial itu ditinggalkan untuk mati. Jangan, jangan pikirkan semua itu. Karena itulah kunci untuk menikmati film ini. Jangan pula terpikir kalau film ini membodoh-bodohi, karena tidak sama sekali. Rolland Emmerich dan timnya memang mengeset semuanya berdasarkan kemauan kita. Dan itulah yang sebaiknya kita pahami. Let’s just sit, and watch.

Selayaknya film Hollywood, film ini bagus sih, bagus yang biasa.

Rating by me : 3 (out of 5)

Let the Right One In

Eli is 12 years old. She's been 12 for over 200 years and, she just moved in next door.


Film keluaran tahun 2008 ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki usia tanggung, Oskar, yang sedang mengalami masa labilnya. Latar belakang si anak yang hanya diasuh oleh ibunya yang sibuk bekerja membuatnya mempunyai sifat penyendiri. Hal ini juga yang membuat dirinya suka di intimidasi oleh teman-teman sekolahnya. Tapi hidupnya kontan berubah setelah ia bertemu dengan anak perempuan seumuran, Eli, yang baru saja pindah ke daerah sekitar rumahnya, yang tak disangka ternyata adalah seorang vampire. Pertemuan mereka membawa kisah romantik tersendiri yang berbeda dari cerita cinta remaja biasa.

Film ini diangkat dari sebuah buku novel ‘bestseller’ terbitan tahun 2004 yang berjudul serupa karangan John Advide Lindqvis, seorang pengarang Swedia. Buku ini telah diterjemahkan kedalam 4 bahasa dan di distribusikan ke banyak Negara di Eropa. Dibandingkan dengan filmnya, bukunya lebih memfokuskan kepada sisi gelap anak yang beranjak remaja, dan mengusung masalah umum para remaja, ‘bullying’, obat-obatan terlarang, prostitusi, sampai pembunuhan.

Kisah percintaan antar 2 makhluk yang berbeda adalah plot yang cukup sering diangkat ke layar, karena itu perlu kemasan khusus yang harus berbeda untuk membuatnya menjadi lebih menarik. Di film ini, sang sutradara, Tomas Alfredson, membawa penonton ke emosi kelam sang tokoh utama dan konfliknya dengan membuat film ini terasa dingin, hening, walau sedikit terganggu dengan alurnya yang lambat. Warna film yang diperlihatkan juga cukup kontras antara putihnya salju yang mewakili emosi dingin sang tokoh utama, dengan warna merah darah yang mewakili konflik yang dibawa oleh sang vampire. Sayangnya alur yang lambat mungkin akan membuat penonton lumayan bosan, tapi hal ini dapat ditanggulangi sutradara dengan menaruh beberapa lonjakan emosi di beberapa titik yang tepat dan mengatur aliran emosi film cukup tidak monoton. Sinematografi film ini indah, dengan bermain warna, focus, dan ketajaman gambar yang sangat berpengaruh pada suasana film.

Akting Kare Hederbrant sebagai Oskar dan Lina Leanderson sebagai Eli patut diacungi jempol dalam film ini. Kare Hederbrant bisa menjiwai perannya sebagai bocah lelaki yang sering di’bully’ sehingga mempunyai dendam tersendiri pada semua orang dengan baik. Akting Kare diimbangi dengan cukup baik pula oleh Lina Leanderson, sebagai cewek vampire yang sebetulnya berumur ratusan tahun yang sedang jatuh cinta dengan bocah kecil.

Untuk sebagian orang yang kurang menyukai genre drama, mungkin akan menilai film ini sebagai film yang membosankan dengan cerita lambat dan berat. Tetapi bagi penggemar film-film yang yang dingin dan bermain dengan emosi disepanjang film, “Let the Right One In” sangat sayang untuk dilewatkan. Inti dari film ini yang saya tangkap adalah : Seberapa besar kekuatan orang terdekatmu bisa mempengaruhi hidupmu ?

Rating by me: 4,5 out of 5

Opening

Hai everyone !

Hmm. Saya tidak akan banyak berbasa-basi. Blog ini adalah blog khusus review film yang saya buat. Mungkin tulisan saya tidak begitu bagus, tapi saya tentu akan berusaha memperbaikinya seiring berjalannya waktu.

Saya adalah orang yang selalu mencintai kegiatan menonton film, penyuka segala jenis genre kecuali horor slasher.

Review film yang saya muat bukanlah kewajiban, tapi kegemaran. Jadi tolong jangan heran bila pemuatan filmnya berantakan dan tidak rutin.

Oke, akhir kata,

please enjoy my writings and leave a comment and critics so i can improve it later for you ;)


Happy reading :)

P.S : Wanna see more about me ? see my tumblr and twitter please.