28.8.10

Shutter Island

Someone is missing.”

Leonardo Di Caprio. Nama itu saja sudah sangat mengundang saya untuk menonton sebuah film, tidak peduli siapa sutradaranya. Sudah menjadi rahasia umum bukan, bahwa bang Lendi (singkatan ini bukan dari saya, tapi pacar saya. Ew, i know.) ini sangat piawai dalam memilih peran. Telah dari lama saya ingin menonton film ini, yang disutradarai oleh Martin Scorsese (ya, beliau juga menyutradarai the Departed – 2006). Tapi entah kenapa filmnya masuk ke Bandung terlalu telat, sehingga saya baru menonton sekarang, dimana tentu bajakannya sudah merajalela dimana-mana.

Well, sebetulnya saya tidak tahu harus bersyukur atau tidak karena memilih menonton di Bioskop ketimbang menonton di DVD.

Cerita dimulai dari kedatangan Teddy Daniels (Leonardo Di Caprio), seorang Marshall AS yang ditugaskan untuk mencari seseorang yang hilang di Shutter Island. Shutter Island sendiri adalah pulau terpencil tempat dirawatnya tahanan-tahanan AS yang sakit jiwa dan dianggap berbahaya. Orang yang hilang ini adalah salah satu tahanan (atau lebih suka disebut sebagai ‘pasien’) yang paling berbahaya, Rachel Solando. Misteri hilangnya Solando membawa Teddy beserta rekannya Chuck Aule (Mark Ruffalo) kedalam sebuah teka-teki besar yang belum pernah diungkap sebelumnya.

Sepuluh menit pertama, saya sudah bisa melihat bahwa tidak akan ada kebahagiaan yang dibawakan oleh film ini. Shot-shot ruangan kosong dan gelap, tata ruang yang hampa, wajah-wajah orang yang frustasi. Belum lagi ketika dibawa lebih jauh ke satu jam berikutnya, pemicu frustasi itu bertambah dengan tumpukan mayat beku dan bayangan wanita yang mati tenggelam dimana-mana. Dimana arah kamera memandang, hanya ada wajah tegang dan kegalauan. Scoringnya juara, walau terdengar sangat familiar karena mirip dengan scoring Inception. Gosh, I freaked out almost all the time. Beri saya ketegangan dengan lelaki buruk rupa dengan cakar ditangannya daripada dengan orang gila yang menyebar dimana-mana tetapi siap berteriak sesuka hati dan memanipulasi. Sejujurnya bahkan setelah satu jam, saya mulai menyerah dengan tensi yang terbangun. Terlalu melelahkan. Bayangkan 137 menit penuh ketegangan itu. Akhirnya saya mulai memejamkan mata saya sekali-sekali sambil berharap agar filmnya cepat selesai.

Tensi mulai dibangun oleh Scorsese dari menit-menit awal, tanpa henti, hingga sekitar setengah jam sebelum film ditutup. Alur cerita dan pembangunan plot cukup baik dan cukup menipu untuk saya. Meski sayang sekali saya harus kecewa dengan endingnya. Pembentukan teka-teki yang ada, jatuh-bangun alur cerita, membuat saya menonton dengan seksama. Tapi sayang, tipe endingnya membuat saya langsung melupakan semua itu. Yah katakan saja, ini hanya masalah selera. Mungkin tipe ending Shutter Island bukan tipe kesukaan saya, tapi untuk saya itu cukup fatal karena langsung menghapus pemikiran-pemikiran saya 2 jam ke belakang.

Tetapi over all, film ini adalah film ter-membuat-lelah kedua bagi saya setelah Funny Games (2007).

Rate by me : 6 out of 10

No comments: